Dia, Manusia
20 Januari, masa
libur kuliah tersisa satu bulan lagi menuju semester baru. Tahun ini akan
menjadi akhir dari perjalanan strata satuku. Masih sedikit persiapan yang
kumiliki sebelum meninggalkan kampus yang kujejaki saat ini. Aku juga berencana
meninggalkan kota yang sudah hampir 22 tahun kutinggali, melanjutkan studiku di
tempat baru.
Rasanya seperti
kemarin aku menginjakkan kaki dalam dunia baru. Berjumpa denganbanyak artikel,
jurnal sertanama-namasastrawan yang belumbanyakkutahukaryanya. Aku telahmengumpulkan
banyak memori perjalanan untuk mencari cokelat. Sebuahvibesyang terasa hangat dan membuatku ingin kembali kesuatumasa
yang telah terlewati. Selain
cokelat, ada banyak warna yang kutemui. Gambaran lika-liku kehidupan mahasiswa
ataupun seorang gadis yang merasa dirinya masih sangat remaja.
Ada satu
cokelat yang masih kental melekat. Kutemui warna tersebut dalam diri seseorang
ketika menjalani Mata Kuliah Umum. Sudah dua tahun sejak kami berkenalan. Waktu
itu bulan April, aku memberanikan diri menghubunginya dan bercerita bahwa aku
ingin mengabadikan namanya dalam tulisan. Dia memberi izin, siapapun nama
dirinya yang akan kucantumkan menjadi kuasaku.
Aku
memanggilnya Manusia. Tidak ada alasan atau makna khusus dalam panggilan tersebut. Nama itu tidak sengaja terlintas di kepalaku dan terdengar lucu.
Kemudian, aku semakin sering memanggilnya dengan nama tersebut. Terutama ketika
diriku tidak dapat membendung kalimat-kalimat sok puitis dari mulut dan
jemariku.
Dia memiliki
kulittan dan senyum yang manis.
Perwakannya tinggi tegap, tampak berwibawa dalam balutan jas ketika berfoto
dengan Bu Mega di Taman Edukasi Kebangsaan. Ada beberapa tahi lalat di area
wajahnya. Ingin dihapus katanya jika ia sudah sukses. Itu mengingatkanku dengan
tahi lalat di lenganku, yang pernah hilang karena luka dan muncul kembali. Padanyakusampaikan
bahwa mamaku pernah mengatakan kalau tahi lalat itu bagian dari anugerah,
sehingga harus lebih dihargai.
Temanku
bilang, dahulu ia seorang paskab. Tak heran bila tubuhnya tegap pikirku. Usut
punya usut, rupanya kami sama-sama memiliki jeda setahun sebelum berada di
kampus ini. Dia juga tipe orang yang menyukai anak kecil. Bukan yang sesuka
itu, tapi cukup tahu bagaimana harus berlaku kepada anak kecil. Dia setahun
lebih tua, tapi aku lebih nyaman memanggilnya dengan nama. Dia menjadi sangat
menyebalkan seiring aku mengenalnya. Lontaran kata gelut seringkali aku ucap ketika bersamanya, baik melalui pesan
ataupun ketika bertemu langsung. Dia tidak pernah menanggapi. Mengalihkan obrolan
atau bahkan tersenyum tipis sambil melanjutkan bacaan artikelnya. Walau
demikian, terkadang itu mendebarkan karena aku masih memiliki rasa untuknya.
Aku
menyukainya seiring lagu Kala Cinta Menggoda terputar dari gawaiku. Aku
menyukainya sekeras teriakanku di ruang sekretariat UKM Olahraga ketika
mendapat balasan pesan atas nama Manusia Kucing. Kala itu perasaan yang kumiliki masih terlalu menggebu.
Terdengar brutal aku menyukainya.
Aku
memutuskan untuk uncrush setelah dua
bulan menaruh rasa. Aku merasa bahwa ia telah memiliki seseorang sehingga ia
menjaga jarak komunikasi denganku. Walau demikian, aku masih belum merasa lega
dan memutuskan untuk menyatakan perasaan melalui surat yang aku selipkan di
kado ulang tahunnya. Seminggu kemudian, kami bertemu karena aku harus
memberikan tiket acara yang telah dia pesan padaku.
“Kamu
ngado apa sih? Aku belum buka isinya?”
“Kalo
gitu buka aja nanti” aku menjawab dengan sedikit menahan rasa gugup.
Aku
merasa bahwa dia berbohong. Umumnya seseorang memiliki rasa penasaran ketika
mereka mendapatkan sesuatu yang terbungkus rapi. Ingin mengetahui apa yang
terdapat di dalamnya. Namun, aku mencoba untuk berpikiran positif. Barangkali
ia sibuk dan tak sempat untuk membuka kado yang kuberikan. Setelah itu, kami
tidak pernah berkomunikasi kembali hingga beberapa bulan.
Bulan
Maret menjadi awal percakapan panjangku dengannya. Malam itu aku menceritakan
bagaimana dirinya dalam sudut pandangku ketika aku menyukainya. Begitupun
dengan aku dalam sudut pandangnya. Meskipun hal ini bukan menjadi tujuan awalku
bertemu setelah sekian lama, tapi aku cukup senang semuanya mengalir diikuti
suaraku yang seringkali bergetar ketika berbicara.
“Sebenernya aku
gak pacaran sama dia. Semua ngalir gitu aja. Tiba-tiba kami jadi dekat”
ungkapnya menceritakan hubungan tanpa status yang ia jalani waktu itu.
“Jadi
betul ketika itu kamu sudah ada cewek?” tanyaku yang ia jawab dengan anggukan.
“Sekarang
kamu masih sama dia?”
“Udah
enggak.”
“Gimana
kalo saat itu kamu gaada cewek? Gak lagi deket sama cewek, bener-bener lagi
sendiri? Apa kamu bakal nerima aku waktu itu?” aku masih terus bertanya karena
penasaran. Dia tersenyum menjawab pertanyaanku, “Kamu lebih cocok aku jadiin
temen.” Aku tersenyum kecut mendengarnya. Walau sudah menyukai orang lain saat
itu, rupanya aku masih sedikit sesak mendengar jawaban tersebut.
“Jadi,
karena itu kamu balas story-ku dengan
story ibu-ibu yang bilang kalo
sebelum menjalin hubungan itu harus temenan dulu?” tanyaku. Lagi-lagi dia
mengangguk.
“Terlalucepat”
ungkapnya.
“Berarti
kamu sadar dong kalo itu buat kamu?”
“Iyalah,
cowok itu lebih gampang peka.”
“Sebelum
aku, kamu pernah gak sih tau ada cewek yang suka kamu? Atau ada yang confess ke kamu gitu?”
“Tau,
dan ada.”
“Terus
apa yang kamu lakuin? Kamu akan post
video atau fotomu sama cewek?”
“Enggaklah.
Waktu itu kebetulan aja aku lagi deket sama cewek. Lagian apa sih yang disuka
dari aku? Aku belum worth it untuk
disukain.”
Sedikit
sesak aku mendengarnya. Jawabannya seakan-akan membuatku merasa bahwa menaruh
rasa padanya adalah hal yang salah. Aku tidak pernah menyesal menyukainya. Menyukainya
menjadi sebuah momen kecil yang membuat perjalananku lebih berwarna. Senang
sekaligus sedih ketika aku menyukainya. Menurutku takada yang salah dari timbulnya
perasaan di antara laki-laki dan perempuan. Itu sebuah hal murni yang tak
selalu bisa dikontrol. Kemudian aku menyadari sesuatu, dia selalu mengalihkan
pandangannya. Tak berani menatapku sebagai lawan bicara. Antara takut atau malukarenatakterbiasaberhadapandenganku.
“Kamu ...
insecure?”
“Apa?”
dia bingung mendengar pertanyaanku.
“Kenapa
kamu ngomong gitu? Kenapa kamu ... gapernah natap lawan bicaramu?” dia hanya
diam saja.
“Kenapa
kamu insecure? Kenapa kamu ngerasa
gak worth it? Aku gapaham kenapa kamu
insecure. Kamu punya sesuatu yang
memikat. Senyummu juga manis. Itu juga jadi alasan pertamaku suka ke kamu.
Bahkan cewek-cewek lain yang suka kamu duluan? Bukannya itu juga nunjukkin kalo
kamu gak perlu insecure?” dia terdiam
dan tersenyum tipis. “Tau gak? Aku bilang ke Mama kalo aku suka salah seorang temanku. Beda fakultas,
dia sederhana dan punya senyum yang manis. Aku juga bilang ke Kakakku, bahwa
orang yang aku suka bukan orang yang suka neko-neko.
Seseorang yang bisa dibilang gak ngikutin arus mahasiswa yang kadang ke kanan
dan ke kiri.”
Aku
menceritakan bagaimana bangganya diriku ketika menyukainya. Tak ada yang
kusesali walau semuanya telah berlalu. “Jadi aku harap kamu gak insecure lagi. Gaada yang perlu
ditakutin. Kamu seberharga itu, di mata orang yang suka ke kamu” imbuhku.
Kami
larut dalam obrolan hingga waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Obrolan yang
seharusnya membahas bagaimana perspektif laki-laki ketika disukai terlebih dahulu
oleh perempuan, merembet menjadi obrolan pribadi.
“Thanks a lot for your attention. Sorry, misal
kamu ngerasa risih, gaenak atau gimana tadi. Makasih udah bantuin aku untuk cari
perspektif dari kamu yang pernah dalam posisi jadi orang yang kusuka. Degan begitu
aku jadi punya perspektif lain yang lebih valid, yang bisa kupilah dan kupilih untuk
mengambil langkah selanjutnya. Aku lega dan kuharap kamu juga bener-bener
begitu setelah cerita tadi. Aku harap kamuselalu dalam keadaan happy. Jangan insecure,
you’re so gorgeous. Semoga kita bener-bener jadi temen setelah ini tanpa
adanya kecanggungan. Terima kasih banyak Manusia.” Begitu aku menutup malam
tersebut.
Hari-hari
selanjutnya, dia mulai menampilkan video-video tentang dirinya ke media sosial.
Aku senang dia menjadi lebih berani. Dia juga mengatakan padaku perubahan yang
terjadi pada dirinya. Rupanya dia benar-benar mempertimbangkan ucapanku.
Pertemanan
kami mulai terjalin lebih santai setelah hari itu. Aku bahkan sudah tidak
pernah bertingkah jaim di hadapannya. Dia menjadi tempatku untuk berlari
setelah sahabatku. Dia mengetahui segala bentuk kasmaran dan kegagalanku. Dia
selalu mengatakan untuk tidak terlalu buru-buru dalam menjalani pendekatan
dengan orang yang kusuka. Pelan-pelan
saja, begitu katanya.
“Percintaan
di umur segini jangan terlalu diseriusin. Wajar kok kalau nanti gagal atau
putus. Seriusnya entar aja kalau udah mampu untuk menikah. Aku paham kamu
orangnya kayak gimana, sementara aku serius banget soal ginian. Udah capek
perihal cinta” ungkapnya ketika aku menunjukkan buku yang kubeli dan belum
kubaca habis. Seni Membaca Bahasa Tubuh
karya Claudia Sabrina. Rencananya aku ingin sedikit belajar mengenai bahasa
tubuh, siapa tau aku bisa sedikit menafsirkan seseorang? Barangkali ada sedikit
bahasa seseorang yang sedang jatuh cinta.
“Mending
kamu bikin novel aja” imbuhnya. Benar, aku pernah punya rencana untuk
menuliskan sedikit tentang orang yang kusuka. Tapi tidak dengan novel. Aku
hanyalah seorang amatir.
“Sejujurnya
itu menarik ketika kamu bilang bahwa kamu paham aku seperti apa. Coba ceritain
dalam sudut pandangmu, aku orangnya gimana?” tanyaku tidak sabar. Aku paling
senang mendengar pandangan-pandangan orang tentangku, terutama bila itu adalah
hal-hal baik.
“Ya ...
menurutku kamu orangnya imajinatif lewat sastra. Suka berandai-andai. Aku juga
gitu kok, tapi lebih ke visual” jawabnya.
“Itu
yang mereka sebut sebagai seniman. Tapi sebenarnya aku sempet kepikiran, gimana
rasanya menjadi seseorang yang istimewa?”
“Kita
istimewa kok di mata orang yang mencintai kita. Jadi, istimewa itu gak harus
disukain semua orang. Atau ... istimewa kayak gimana yang kamu maksud?”
“Ya
begitu ... pahamlah kamu maksudku yang mana” balasku.
Kemudian,
aku gagal dalam percintaanku yang kedua dan ketiga.Aku mengadu kepadanya.
Sebenarnya tidak apa-apa karena aku sudah memiliki dugaan kegagalan di awal.
Namun, ketika aku menyukai orang lain, entah mengapa Manusia masih memiliki
posisi yang teramat spesial hingga aku selalu merasa excited ketika bertemu dengannya. Dia menjadi cukup sering
berkunjung ke fakultasku. Entah karena ada janji denganku untuk mengambil paket
yang ia titipkan, ataupun sekedar bosan dan menumpang wifi.
Aku
merasa hangat setiap kali duduk berdua danbercerita atau mendengarkan hal-hal
kecil. Mungkin karena dia orang ber-vibes
cokelat yang pertama kali kutemui ketika kuliah. Seseorang yang mengingatkanku
tentang Parade Ngengat karya Lumelux di platform
oranye. Vibes cokelat yang
pertama kali kubayangkan ketika hendak menginjak bangku perkuliahan. Seperti
melihat Yanu dan Laras sedang hidup. Terkadang dia bersikap seperti Laras dengan
hal-hal kecilnya. Terkadang juga terdengar seperti Yanu ketika bersikap bodo
amat. Namun,ada kala semua tampak berbaur dan menjadi hangat.
Manusia
pernah mengundangku untuk melihat latihan sidang di fakultasnya. Sebenarnya aku
malu namun aku tetap datang bermain ke tempatnya bersama seorang sahabatku.
Hanya duduk di area fakultasnya, aku tidak memiliki keberanian untuk memasuki
ruang. Lagi pula dari pesan yang ia kirim, Manusia belum sampai di fakultasnya.
Asik mengobrol sambil melakukan siaranlangsung, aku melihat punggung berbalut kemeja hitam dan tas
punggung yang melekat. Aku terkesima melihatnya lewat di hadapanku. Rambutnya
bergerak seiring langkahnya berlari, serta wajahnya yang sedikit panik karena
telat. Itu Manusia. Ia terburu-buru, aku memanggilnya dan ia berhenti. Ia
menawarkanku untuk mengikutinya masuk ke ruang latihan, namun aku menolak. Aku
dan sahabatku tetap pada tempat kami duduk.
Setelah
ia pergi, aku tidak bisa menahan gerak tubuhku yang kegirangan. Teriakanku
tercekik. Aku menahan sebisa mungkin karena ini bukan tempatku. Hal tersebut
terekam dalam siaranku
dan menuai komentar dari teman-teman. Saltingnya
sampe sini, begitu bunyi salah satu komentar yang kubaca. Tak lama
setelahitu, akumematikansiaranuntukbergabungkesiaranmiliknya. Manisbanget, begitubatinkumenggila.
Kejadian
itu terputar di otakku selama beberapa hari. Aku tidak dapat melepaskan
bayangan wajahnya yang berlari serta suaranya yang khas ketika kami mengobrol.
4 Juni, aku menulisdan mengirimkan puisi ke blog. Melalui puisi tersebut aku
membuat pengakuan. Benar, aku jatuh hati kepada Manusia untuk kedua kalinya.
Kali ini, aku tidak benar-benar mengaku kepadanya, cukup dalam puisi dan
lagi-lagi di bulan Juni. Bulan yang sama seperti pertama kali menyukainya dulu.
Lama
kami tidak mengobrol. Perasaan tersebut kemudian menguap begitu saja seiring dengan
kegiatanku yang semakin sibuk ketika liburan. Namun, sesekali aku
menghubunginya ketika mencari teman cerita. Sayangnya, waktu liburan yang
sering ia gunakan untuk menyalurkan hobi dalam melukis, membuat hiasan-hiasan
kecil atau mengedit video membuatku menjadi sungkan. Pada akhirnya, aku tidak
bercerita apa-apa dan memilih untuk tidur.
Aku juga
sering menagihnya untuk bermain ketika sudah kembali ke Kotaku. Dia mengiyakan
walau tidak tahu pasti kapan akan bermain. Meskipun memiliki sifat kalem,
terkadang ia bertingkah seperti seorang buaya yang sedang mencari wanita.
Godaan-godaan kecil sering ia tulis ketika mengomentari story-ku yang menampilkan teman perempuanku. “Kenalin dong ke aku” atau “Nanti foto juga sama
Mas ya dek” menjadi bunyi-bunyi godaan yang selalu aku jawab dengan kata “Gak.”
Aku
merasa bahwa satu semester terakhir yang kulewati menjadi hal yang teramat
istimewa. Aku merasakan banyak momen ketika berteman dengannya. Hal yang tidak
aku dapatkan ketika menyukainya dahulu. Tidak ada kecanggungan atau kejaiman
yang aku lakukan. Aku dengan bebas mengekspresikan bagaimana diriku di
hadapannya, sama seperti di hadapan teman-temanku lainnya. Sayangnya, aku
mengulangi kesalahan. Lagi-lagi aku jatuh hati dan memilih untuk diam. Tak
berharap apapun sebab aku tidak akan pernah bisa menggapai Manusia lebih jauh
lagi.
Aku
pernah mengatakan rindu kepadanya. Rasanya sudah lama aku tidak melihatnya.
“Belum satu bulan dari terakhir kita ketemu” ucapnya ketika itu. Sebenarnya,
tanpa aku beritahu pun dia sudah mengetahuinya. Dia adalah makhluk paling peka
yang pernah aku temui sekaligus makhluk paling mahir untuk bersikap bodo amat.
Dia
seringkali membawa nama-nama laki-laki yang pernah kusuka atau orang yang kerap
dicomblangkan kepadaku. Misalnya saja ketika aku baru membalas pesannya setelah
menghabiskan waktu untuk berjalan-jalan, dia mengatakan “Abis nge-date sama Mas Elang kah?”. “Apaansih
Elang mulu, aku gasuka dia” jawaban sebal yang selalu aku lontarkan padanya. Hal-hal
kecil yang mengundang rasa ingin bergelut. Terlalu sering sehingga membuatku
kesal.
Aku juga
sering menggunakan foto kami berdua untuk mengusir laki-laki yang berusaha
mendekatiku. Awalnya aku tidak pernah menceritakan kejadian ini padanya hingga
suatu hari aku memilih untuk bercerita. Dia mengizinkanku menggunakan fotonya.
Hanya saja, aneh menurutnya. Dia tahu bahwa aku pernah mengatakan menginginkan
pasangan, tetapi menolak ketika ada seseorang yang mendekatiku. Sebuah hal yang
kontra. Kujelaskan padanya bahwa itu dulu sebelum semua kegagalanku dalam
percintaan. Kali ini aku benar-benar tidak ingin memulai hubungan.
Suatu
ketika, kejadian seperti ini terulang kembali. Dia yang peka terhadap apa yang
akan aku lakukan memilih untuk tidak memberi izin. Biar aku membuka hati pada
orang baru katanya. Dia ingin aku mencoba hubungan baru untuk memutus siklus
yang sebelumnya. Harus mencoba bersama orang yang menyukaiku terlebih dahulu.
“Maunya
sama Manusia?” tanyanya. Aku menjelaskan kembali padanya bahwa untuk kali ini
aku benar-benar nyaman dengan kondisiku tanpa menjalin hubungan. Kebebasan yang
kurasakan dalam satu semester lalu cukup membuatku mengeksplor banyak hal dan
mengumpulkan memori-memori baru yang sangat menyenangkan. Baik selama aku sibuk
dalam kegiatanku di kampus atau kehidupanku secara pribadi. Semua hal baik yang
kudapatkan dalam kesibukanku tak rela kuakhiri.
“Kenapa
kamu gak jujur aja ke orangnya? Kenapa kamu malah ngomong ke aku? Paling nggak
kamu bisa temenan. Suatu saat aku juga akan jadi cowoknya orang loh” ungkapnya.
Hal yang
sangatinginakukatakanpadanyabahwaakutahudanakutidakingindiamengakatanhal yang
sudahsangatjelasini. Tapiakhirnyaakumengatakankalimat lain. “Aku tau. Masih belum kan?” aku mencoba tertawa, tapi
sangat sakit rupanya mendengar kalimat yang sama beberapa kali.
“Padahal
kamu gampang banget deket sama semua orang. Kenapa sekarang terkesan seperti
anti dengan laki-laki ini?” tanyanya. “Aku lelah mencoba membuka hati” batinku
menjawab.
Satu,
laki-laki yang sedang mendekatiku saat itu adalah seorang teman lama yang
pernah aku cut off karena aku tidak
nyaman berteman dengannya. Dia pernah mendekatiku beberapa kali ketika dirinya
memiliki pacar. Sehingga, membuat pacarnya terus merasa curiga padaku walau aku
hanyameresponnya selayaknya teman. Terlebih rumah kami
berdekatan, halinimembuatsituasikusemakin tidak nyaman.
Kedua, aku
cukup lelah untuk memulai hubungan baru dengan segala kegagalanku sebelumnya. Aku sudah mulai nyaman dengan status dan kondisiku saatini. Support
system yang kudapatkandari
orang-orang sekitarmembuatkumerasacukup. Selain itu, menyukainya saja sudah menguras cukup tenaga.Melalui segala
gagalku, seharusnya aku bisa mencegah untuk jatuh hatilagi kepada Manusia.
Namun, aku hanya ingin perasaanku tetap mengalir tanpa aku paksa berhenti. Kala
waktunya berhenti, kuyakin itu akan berhenti dengan sendirinya.
Ketiga,
bukankah sebelum mengatakan sesuatu harus dikembalikan ke diri sendiri dulu?
“Daripada kamu nyuruh aku untuk membuka kesempatan bagi yang menyukaiku
terlebih dahulu, kenapa gak kamu aja yang buka kesempatan dan mulai sama aku”
batinku berteriak kesal terhadap perkataannya.
Aku
memutuskan menghilang setelahnya. Rasanya sangat sedih dan sesak. Aku merasa
bahwa diriku terlempar pada masa abu-abu ketika aku merasakan runtuh untuk
pertama kalinya. Aku perlu waktu untuk sendiri. Hari itu kuhabiskan untuk
berbaring di tempat tidur karena tak memiliki tenaga untuk bangun. Gawaiku
terus membunyikan notifikasidari teman-temanku yang mulai menyadari bahwaaku bersikap tidak seperti biasanya. Sedikit terhibur
diriku membaca beberapa pesan yang masuk. Malamnya aku sedikit memberikan kabar
kepada teman-temanku. Kurasa Manusia juga menyadari hal tersebut. Satu pesannya
terdengar seperti usaha untuk memastikan bahwa aku baik-baik saja.
Hilangku
hanya sehari. Aku tidak betah karena isi pesan temanku yang mengundang gelak
tawa. Tapi, tanpa aku bercerita mereka pun juga sudah menebak apa yang terjadi
padaku. Sangat pengertian, aku senang karena tidak harus bercerita banyak.
Sebab, sejujurnya aku masih memiliki rasa sesak ketika mengingat perkataan itu.
Diantarabanyaknyapesan
yang masuk, salahsatunyamilikManusia. Mengomentaripostinganceritakubeberapa jam
yang lalu. Kuputuskan untuk
membalas pesannyayang
terindikasi memastikanku baik-baik saja tersebutdalambentukpertanyaan
lain.Gengsiamat,batinku. Aku juga mengomentari postingan story-nya. Kurasakan canggung ketika membaca isi pesan kami. Tapi
aku merasa bahwa ini wajar.
Beberapa hari kemudian dia bercerita bahwa dia tahu aku menghilang
karenanya. Aku hanya tertawa karena dia memang teramat peka. Namun, sejujurnya
itu juga mengesalkan, sehingga lagi-lagi aku ingin bergelut dengannya. Dia
sangat menyebalkan ketika bersikap bodo amat. Dia pernah mengatakan jika
dirinya sebenarnya tahu apa yang aku inginkan, namun tidak semua dia bisa
wujudkan. Tidak hanya padaku, tapi juga orang lain. Katanya ia tidak ingin
menjadi seseorang yang sungkan untuk mengatakan ‘tidak’. Di sisi lain, momen
pergelutan menjadi hal
yang paling kusuka dan kurindukan darinya. Segala hal menyebalkan hingga aku
ingin menjambak rambutnya membuatku merasa hangat ketika menjalani pertemanan kami.
Suatuhari aku melihatnya merubah foto profil. Foto itu
mengingatkanku dengan Humpty Dumpty Laras. Iseng kuunduh sebuah foto Humpty Dumpty
dan memajangnya di snapgram dengan caption“Dia Laras”. Aku tak menduga bahwa dia akan mengomentari hal
tersebut.
“Nyindir
ppku kah?” tanyanya sedikit tersinggung.
Aku
tertawa membaca komentar tersebut. Pura-pura tidak tahu apa yang telah terjadi.
Benar, aku menyindirnya. Dia teramat peka dengan situasi, dan aku suka ketika
dia menyuarakan hal tersebut. Aku tahu bahwa dia hanya satu orang dan tidak
dapat disamakan, sayangnya terkadang aku ingin menyebutnya Yanu dan terkadang
juga Laras. Di sisi lain, antara Yanu dan Laras, posisiku hanyalah seekor
ngengat yang terpesona pada cahaya. Manusia adalah cahaya lampu yang selalu
memikat ngengat untuk terbang mendekat.
Aku
tidak pernah tahu apa yang akan terjadi ke depannya dan bagaimana kelanjutan
perasaanku padanya. Aku hanya berharap dia selalu berada pada posisi
menyebalkannya untuk tetap menjalani pertemanan dengan bumbu pergelutanku. Itu
salah satu hal yang kusyukuri dan akan selalu begitu tanpa merubah situasi
apapun. Terakhir, aku ingin memiliki lebih banyak momen untuk kusimpan dan
kuabadikan dalam cokelat-cokelatku yang lain.
Ivanda Mifa
Sastra Indonesia 2021
IG: @ivandamf