Dia, Manusia

 


Dia, Manusia

 

20 Januari, masa libur kuliah tersisa satu bulan lagi menuju semester baru. Tahun ini akan menjadi akhir dari perjalanan strata satuku. Masih sedikit persiapan yang kumiliki sebelum meninggalkan kampus yang kujejaki saat ini. Aku juga berencana meninggalkan kota yang sudah hampir 22 tahun kutinggali, melanjutkan studiku di tempat baru.

            Rasanya seperti kemarin aku menginjakkan kaki dalam dunia baru. Berjumpa denganbanyak artikel, jurnal sertanama-namasastrawan yang belumbanyakkutahukaryanya. Aku telahmengumpulkan banyak memori perjalanan untuk mencari cokelat. Sebuahvibesyang terasa hangat dan membuatku ingin kembali kesuatumasa yang telah terlewati. Selain cokelat, ada banyak warna yang kutemui. Gambaran lika-liku kehidupan mahasiswa ataupun seorang gadis yang merasa dirinya masih sangat remaja.

            Ada satu cokelat yang masih kental melekat. Kutemui warna tersebut dalam diri seseorang ketika menjalani Mata Kuliah Umum. Sudah dua tahun sejak kami berkenalan. Waktu itu bulan April, aku memberanikan diri menghubunginya dan bercerita bahwa aku ingin mengabadikan namanya dalam tulisan. Dia memberi izin, siapapun nama dirinya yang akan kucantumkan menjadi kuasaku.

            Aku memanggilnya Manusia. Tidak ada alasan atau makna khusus dalam panggilan tersebut. Nama itu tidak sengaja terlintas di kepalaku dan terdengar lucu. Kemudian, aku semakin sering memanggilnya dengan nama tersebut. Terutama ketika diriku tidak dapat membendung kalimat-kalimat sok puitis dari mulut dan jemariku.

            Dia memiliki kulittan dan senyum yang manis. Perwakannya tinggi tegap, tampak berwibawa dalam balutan jas ketika berfoto dengan Bu Mega di Taman Edukasi Kebangsaan. Ada beberapa tahi lalat di area wajahnya. Ingin dihapus katanya jika ia sudah sukses. Itu mengingatkanku dengan tahi lalat di lenganku, yang pernah hilang karena luka dan muncul kembali. Padanyakusampaikan bahwa mamaku pernah mengatakan kalau tahi lalat itu bagian dari anugerah, sehingga harus lebih dihargai.

            Temanku bilang, dahulu ia seorang paskab. Tak heran bila tubuhnya tegap pikirku. Usut punya usut, rupanya kami sama-sama memiliki jeda setahun sebelum berada di kampus ini. Dia juga tipe orang yang menyukai anak kecil. Bukan yang sesuka itu, tapi cukup tahu bagaimana harus berlaku kepada anak kecil. Dia setahun lebih tua, tapi aku lebih nyaman memanggilnya dengan nama. Dia menjadi sangat menyebalkan seiring aku mengenalnya. Lontaran kata gelut seringkali aku ucap ketika bersamanya, baik melalui pesan ataupun ketika bertemu langsung. Dia tidak pernah menanggapi. Mengalihkan obrolan atau bahkan tersenyum tipis sambil melanjutkan bacaan artikelnya. Walau demikian, terkadang itu mendebarkan karena aku masih memiliki rasa untuknya.

            Aku menyukainya seiring lagu Kala Cinta Menggoda terputar dari gawaiku. Aku menyukainya sekeras teriakanku di ruang sekretariat UKM Olahraga ketika mendapat balasan pesan atas nama Manusia Kucing. Kala itu perasaan yang kumiliki masih terlalu menggebu. Terdengar brutal aku menyukainya.

            Aku memutuskan untuk uncrush setelah dua bulan menaruh rasa. Aku merasa bahwa ia telah memiliki seseorang sehingga ia menjaga jarak komunikasi denganku. Walau demikian, aku masih belum merasa lega dan memutuskan untuk menyatakan perasaan melalui surat yang aku selipkan di kado ulang tahunnya. Seminggu kemudian, kami bertemu karena aku harus memberikan tiket acara yang telah dia pesan padaku.

            “Kamu ngado apa sih? Aku belum buka isinya?”

            “Kalo gitu buka aja nanti” aku menjawab dengan sedikit menahan rasa gugup.

            Aku merasa bahwa dia berbohong. Umumnya seseorang memiliki rasa penasaran ketika mereka mendapatkan sesuatu yang terbungkus rapi. Ingin mengetahui apa yang terdapat di dalamnya. Namun, aku mencoba untuk berpikiran positif. Barangkali ia sibuk dan tak sempat untuk membuka kado yang kuberikan. Setelah itu, kami tidak pernah berkomunikasi kembali hingga beberapa bulan.

            Bulan Maret menjadi awal percakapan panjangku dengannya. Malam itu aku menceritakan bagaimana dirinya dalam sudut pandangku ketika aku menyukainya. Begitupun dengan aku dalam sudut pandangnya. Meskipun hal ini bukan menjadi tujuan awalku bertemu setelah sekian lama, tapi aku cukup senang semuanya mengalir diikuti suaraku yang seringkali bergetar ketika berbicara.

“Sebenernya aku gak pacaran sama dia. Semua ngalir gitu aja. Tiba-tiba kami jadi dekat” ungkapnya menceritakan hubungan tanpa status yang ia jalani waktu itu.

            “Jadi betul ketika itu kamu sudah ada cewek?” tanyaku yang ia jawab dengan anggukan.

            “Sekarang kamu masih sama dia?”

            “Udah enggak.”

            “Gimana kalo saat itu kamu gaada cewek? Gak lagi deket sama cewek, bener-bener lagi sendiri? Apa kamu bakal nerima aku waktu itu?” aku masih terus bertanya karena penasaran. Dia tersenyum menjawab pertanyaanku, “Kamu lebih cocok aku jadiin temen.” Aku tersenyum kecut mendengarnya. Walau sudah menyukai orang lain saat itu, rupanya aku masih sedikit sesak mendengar jawaban tersebut.

            “Jadi, karena itu kamu balas story-ku dengan story ibu-ibu yang bilang kalo sebelum menjalin hubungan itu harus temenan dulu?” tanyaku. Lagi-lagi dia mengangguk.

            “Terlalucepat” ungkapnya.

            “Berarti kamu sadar dong kalo itu buat kamu?”

            “Iyalah, cowok itu lebih gampang peka.”

            “Sebelum aku, kamu pernah gak sih tau ada cewek yang suka kamu? Atau ada yang confess  ke kamu gitu?”

            “Tau, dan ada.”

            “Terus apa yang kamu lakuin? Kamu akan post video atau fotomu sama cewek?”

            “Enggaklah. Waktu itu kebetulan aja aku lagi deket sama cewek. Lagian apa sih yang disuka dari aku? Aku belum worth it untuk disukain.”

            Sedikit sesak aku mendengarnya. Jawabannya seakan-akan membuatku merasa bahwa menaruh rasa padanya adalah hal yang salah. Aku tidak pernah menyesal menyukainya. Menyukainya menjadi sebuah momen kecil yang membuat perjalananku lebih berwarna. Senang sekaligus sedih ketika aku menyukainya. Menurutku takada yang salah dari timbulnya perasaan di antara laki-laki dan perempuan. Itu sebuah hal murni yang tak selalu bisa dikontrol. Kemudian aku menyadari sesuatu, dia selalu mengalihkan pandangannya. Tak berani menatapku sebagai lawan bicara. Antara takut atau malukarenatakterbiasaberhadapandenganku.

            “Kamu ... insecure?”

            “Apa?” dia bingung mendengar pertanyaanku.

            “Kenapa kamu ngomong gitu? Kenapa kamu ... gapernah natap lawan bicaramu?” dia hanya diam saja.

            “Kenapa kamu insecure? Kenapa kamu ngerasa gak worth it? Aku gapaham kenapa kamu insecure. Kamu punya sesuatu yang memikat. Senyummu juga manis. Itu juga jadi alasan pertamaku suka ke kamu. Bahkan cewek-cewek lain yang suka kamu duluan? Bukannya itu juga nunjukkin kalo kamu gak perlu insecure?” dia terdiam dan tersenyum tipis. “Tau gak? Aku bilang ke Mama kalo aku suka salah seorang temanku. Beda fakultas, dia sederhana dan punya senyum yang manis. Aku juga bilang ke Kakakku, bahwa orang yang aku suka bukan orang yang suka neko-neko. Seseorang yang bisa dibilang gak ngikutin arus mahasiswa yang kadang ke kanan dan ke kiri.”

            Aku menceritakan bagaimana bangganya diriku ketika menyukainya. Tak ada yang kusesali walau semuanya telah berlalu. “Jadi aku harap kamu gak insecure lagi. Gaada yang perlu ditakutin. Kamu seberharga itu, di mata orang yang suka ke kamu” imbuhku.

            Kami larut dalam obrolan hingga waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Obrolan yang seharusnya membahas bagaimana perspektif laki-laki ketika disukai terlebih dahulu oleh perempuan, merembet menjadi obrolan pribadi.

Thanks a lot for your attention. Sorry, misal kamu ngerasa risih, gaenak atau gimana tadi. Makasih udah bantuin aku untuk cari perspektif dari kamu yang pernah dalam posisi jadi orang yang kusuka. Degan begitu aku jadi punya perspektif lain yang lebih valid, yang bisa kupilah dan kupilih untuk mengambil langkah selanjutnya. Aku lega dan kuharap kamu juga bener-bener begitu setelah cerita tadi. Aku harap kamuselalu dalam keadaan happy. Jangan insecure, you’re so gorgeous. Semoga kita bener-bener jadi temen setelah ini tanpa adanya kecanggungan. Terima kasih banyak Manusia.” Begitu aku menutup malam tersebut.

            Hari-hari selanjutnya, dia mulai menampilkan video-video tentang dirinya ke media sosial. Aku senang dia menjadi lebih berani. Dia juga mengatakan padaku perubahan yang terjadi pada dirinya. Rupanya dia benar-benar mempertimbangkan ucapanku.

            Pertemanan kami mulai terjalin lebih santai setelah hari itu. Aku bahkan sudah tidak pernah bertingkah jaim di hadapannya. Dia menjadi tempatku untuk berlari setelah sahabatku. Dia mengetahui segala bentuk kasmaran dan kegagalanku. Dia selalu mengatakan untuk tidak terlalu buru-buru dalam menjalani pendekatan dengan orang yang kusuka. Pelan-pelan saja, begitu katanya.

            “Percintaan di umur segini jangan terlalu diseriusin. Wajar kok kalau nanti gagal atau putus. Seriusnya entar aja kalau udah mampu untuk menikah. Aku paham kamu orangnya kayak gimana, sementara aku serius banget soal ginian. Udah capek perihal cinta” ungkapnya ketika aku menunjukkan buku yang kubeli dan belum kubaca habis. Seni Membaca Bahasa Tubuh karya Claudia Sabrina. Rencananya aku ingin sedikit belajar mengenai bahasa tubuh, siapa tau aku bisa sedikit menafsirkan seseorang? Barangkali ada sedikit bahasa seseorang yang sedang jatuh cinta.

            “Mending kamu bikin novel aja” imbuhnya. Benar, aku pernah punya rencana untuk menuliskan sedikit tentang orang yang kusuka. Tapi tidak dengan novel. Aku hanyalah seorang amatir.

            “Sejujurnya itu menarik ketika kamu bilang bahwa kamu paham aku seperti apa. Coba ceritain dalam sudut pandangmu, aku orangnya gimana?” tanyaku tidak sabar. Aku paling senang mendengar pandangan-pandangan orang tentangku, terutama bila itu adalah hal-hal baik.

            “Ya ... menurutku kamu orangnya imajinatif lewat sastra. Suka berandai-andai. Aku juga gitu kok, tapi lebih ke visual” jawabnya.

            “Itu yang mereka sebut sebagai seniman. Tapi sebenarnya aku sempet kepikiran, gimana rasanya menjadi seseorang yang istimewa?”

            “Kita istimewa kok di mata orang yang mencintai kita. Jadi, istimewa itu gak harus disukain semua orang. Atau ... istimewa kayak gimana yang kamu maksud?”

            “Ya begitu ... pahamlah kamu maksudku yang mana” balasku.

            Kemudian, aku gagal dalam percintaanku yang kedua dan ketiga.Aku mengadu kepadanya. Sebenarnya tidak apa-apa karena aku sudah memiliki dugaan kegagalan di awal. Namun, ketika aku menyukai orang lain, entah mengapa Manusia masih memiliki posisi yang teramat spesial hingga aku selalu merasa excited ketika bertemu dengannya. Dia menjadi cukup sering berkunjung ke fakultasku. Entah karena ada janji denganku untuk mengambil paket yang ia titipkan, ataupun sekedar bosan dan menumpang wifi.

            Aku merasa hangat setiap kali duduk berdua danbercerita atau mendengarkan hal-hal kecil. Mungkin karena dia orang ber-vibes cokelat yang pertama kali kutemui ketika kuliah. Seseorang yang mengingatkanku tentang Parade Ngengat karya Lumelux di platform oranye. Vibes cokelat yang pertama kali kubayangkan ketika hendak menginjak bangku perkuliahan. Seperti melihat Yanu dan Laras sedang hidup. Terkadang dia bersikap seperti Laras dengan hal-hal kecilnya. Terkadang juga terdengar seperti Yanu ketika bersikap bodo amat. Namun,ada kala semua tampak berbaur dan menjadi hangat.

            Manusia pernah mengundangku untuk melihat latihan sidang di fakultasnya. Sebenarnya aku malu namun aku tetap datang bermain ke tempatnya bersama seorang sahabatku. Hanya duduk di area fakultasnya, aku tidak memiliki keberanian untuk memasuki ruang. Lagi pula dari pesan yang ia kirim, Manusia belum sampai di fakultasnya. Asik mengobrol sambil melakukan siaranlangsung, aku melihat punggung berbalut kemeja hitam dan tas punggung yang melekat. Aku terkesima melihatnya lewat di hadapanku. Rambutnya bergerak seiring langkahnya berlari, serta wajahnya yang sedikit panik karena telat. Itu Manusia. Ia terburu-buru, aku memanggilnya dan ia berhenti. Ia menawarkanku untuk mengikutinya masuk ke ruang latihan, namun aku menolak. Aku dan sahabatku tetap pada tempat kami duduk.

            Setelah ia pergi, aku tidak bisa menahan gerak tubuhku yang kegirangan. Teriakanku tercekik. Aku menahan sebisa mungkin karena ini bukan tempatku. Hal tersebut terekam dalam siaranku dan menuai komentar dari teman-teman. Saltingnya sampe sini, begitu bunyi salah satu komentar yang kubaca. Tak lama setelahitu, akumematikansiaranuntukbergabungkesiaranmiliknya. Manisbanget, begitubatinkumenggila.

            Kejadian itu terputar di otakku selama beberapa hari. Aku tidak dapat melepaskan bayangan wajahnya yang berlari serta suaranya yang khas ketika kami mengobrol. 4 Juni, aku menulisdan mengirimkan puisi ke blog. Melalui puisi tersebut aku membuat pengakuan. Benar, aku jatuh hati kepada Manusia untuk kedua kalinya. Kali ini, aku tidak benar-benar mengaku kepadanya, cukup dalam puisi dan lagi-lagi di bulan Juni. Bulan yang sama seperti pertama kali menyukainya dulu.

            Lama kami tidak mengobrol. Perasaan tersebut kemudian menguap begitu saja seiring dengan kegiatanku yang semakin sibuk ketika liburan. Namun, sesekali aku menghubunginya ketika mencari teman cerita. Sayangnya, waktu liburan yang sering ia gunakan untuk menyalurkan hobi dalam melukis, membuat hiasan-hiasan kecil atau mengedit video membuatku menjadi sungkan. Pada akhirnya, aku tidak bercerita apa-apa dan memilih untuk tidur.

            Aku juga sering menagihnya untuk bermain ketika sudah kembali ke Kotaku. Dia mengiyakan walau tidak tahu pasti kapan akan bermain. Meskipun memiliki sifat kalem, terkadang ia bertingkah seperti seorang buaya yang sedang mencari wanita. Godaan-godaan kecil sering ia tulis ketika mengomentari story-ku yang menampilkan teman perempuanku. “Kenalin dong ke aku” atau “Nanti foto juga sama Mas ya dek” menjadi bunyi-bunyi godaan yang selalu aku jawab dengan kata “Gak.”

            Aku merasa bahwa satu semester terakhir yang kulewati menjadi hal yang teramat istimewa. Aku merasakan banyak momen ketika berteman dengannya. Hal yang tidak aku dapatkan ketika menyukainya dahulu. Tidak ada kecanggungan atau kejaiman yang aku lakukan. Aku dengan bebas mengekspresikan bagaimana diriku di hadapannya, sama seperti di hadapan teman-temanku lainnya. Sayangnya, aku mengulangi kesalahan. Lagi-lagi aku jatuh hati dan memilih untuk diam. Tak berharap apapun sebab aku tidak akan pernah bisa menggapai Manusia lebih jauh lagi.

            Aku pernah mengatakan rindu kepadanya. Rasanya sudah lama aku tidak melihatnya. “Belum satu bulan dari terakhir kita ketemu” ucapnya ketika itu. Sebenarnya, tanpa aku beritahu pun dia sudah mengetahuinya. Dia adalah makhluk paling peka yang pernah aku temui sekaligus makhluk paling mahir untuk bersikap bodo amat.

            Dia seringkali membawa nama-nama laki-laki yang pernah kusuka atau orang yang kerap dicomblangkan kepadaku. Misalnya saja ketika aku baru membalas pesannya setelah menghabiskan waktu untuk berjalan-jalan, dia mengatakan “Abis nge-date sama Mas Elang kah?”. “Apaansih Elang mulu, aku gasuka dia” jawaban sebal yang selalu aku lontarkan padanya. Hal-hal kecil yang mengundang rasa ingin bergelut. Terlalu sering sehingga membuatku kesal.

            Aku juga sering menggunakan foto kami berdua untuk mengusir laki-laki yang berusaha mendekatiku. Awalnya aku tidak pernah menceritakan kejadian ini padanya hingga suatu hari aku memilih untuk bercerita. Dia mengizinkanku menggunakan fotonya. Hanya saja, aneh menurutnya. Dia tahu bahwa aku pernah mengatakan menginginkan pasangan, tetapi menolak ketika ada seseorang yang mendekatiku. Sebuah hal yang kontra. Kujelaskan padanya bahwa itu dulu sebelum semua kegagalanku dalam percintaan. Kali ini aku benar-benar tidak ingin memulai hubungan.

            Suatu ketika, kejadian seperti ini terulang kembali. Dia yang peka terhadap apa yang akan aku lakukan memilih untuk tidak memberi izin. Biar aku membuka hati pada orang baru katanya. Dia ingin aku mencoba hubungan baru untuk memutus siklus yang sebelumnya. Harus mencoba bersama orang yang menyukaiku terlebih dahulu.

            “Maunya sama Manusia?” tanyanya. Aku menjelaskan kembali padanya bahwa untuk kali ini aku benar-benar nyaman dengan kondisiku tanpa menjalin hubungan. Kebebasan yang kurasakan dalam satu semester lalu cukup membuatku mengeksplor banyak hal dan mengumpulkan memori-memori baru yang sangat menyenangkan. Baik selama aku sibuk dalam kegiatanku di kampus atau kehidupanku secara pribadi. Semua hal baik yang kudapatkan dalam kesibukanku tak rela kuakhiri.

            “Kenapa kamu gak jujur aja ke orangnya? Kenapa kamu malah ngomong ke aku? Paling nggak kamu bisa temenan. Suatu saat aku juga akan jadi cowoknya orang loh” ungkapnya.

            Hal yang sangatinginakukatakanpadanyabahwaakutahudanakutidakingindiamengakatanhal yang sudahsangatjelasini. Tapiakhirnyaakumengatakankalimat lain. “Aku tau. Masih belum kan?” aku mencoba tertawa, tapi sangat sakit rupanya mendengar kalimat yang sama beberapa kali.

            “Padahal kamu gampang banget deket sama semua orang. Kenapa sekarang terkesan seperti anti dengan laki-laki ini?” tanyanya. “Aku lelah mencoba membuka hati” batinku menjawab.

            Satu, laki-laki yang sedang mendekatiku saat itu adalah seorang teman lama yang pernah aku cut off karena aku tidak nyaman berteman dengannya. Dia pernah mendekatiku beberapa kali ketika dirinya memiliki pacar. Sehingga, membuat pacarnya terus merasa curiga padaku walau aku hanyameresponnya selayaknya teman. Terlebih rumah kami berdekatan, halinimembuatsituasikusemakin tidak nyaman.

            Kedua, aku cukup lelah untuk memulai hubungan baru dengan segala kegagalanku sebelumnya. Aku sudah mulai nyaman dengan status dan kondisiku saatini. Support system yang kudapatkandari orang-orang sekitarmembuatkumerasacukup. Selain itu, menyukainya saja sudah menguras cukup tenaga.Melalui segala gagalku, seharusnya aku bisa mencegah untuk jatuh hatilagi kepada Manusia. Namun, aku hanya ingin perasaanku tetap mengalir tanpa aku paksa berhenti. Kala waktunya berhenti, kuyakin itu akan berhenti dengan sendirinya.

            Ketiga, bukankah sebelum mengatakan sesuatu harus dikembalikan ke diri sendiri dulu? “Daripada kamu nyuruh aku untuk membuka kesempatan bagi yang menyukaiku terlebih dahulu, kenapa gak kamu aja yang buka kesempatan dan mulai sama aku” batinku berteriak kesal terhadap perkataannya.

            Aku memutuskan menghilang setelahnya. Rasanya sangat sedih dan sesak. Aku merasa bahwa diriku terlempar pada masa abu-abu ketika aku merasakan runtuh untuk pertama kalinya. Aku perlu waktu untuk sendiri. Hari itu kuhabiskan untuk berbaring di tempat tidur karena tak memiliki tenaga untuk bangun. Gawaiku terus membunyikan notifikasidari teman-temanku yang mulai menyadari bahwaaku bersikap tidak seperti biasanya. Sedikit terhibur diriku membaca beberapa pesan yang masuk. Malamnya aku sedikit memberikan kabar kepada teman-temanku. Kurasa Manusia juga menyadari hal tersebut. Satu pesannya terdengar seperti usaha untuk memastikan bahwa aku baik-baik saja.

            Hilangku hanya sehari. Aku tidak betah karena isi pesan temanku yang mengundang gelak tawa. Tapi, tanpa aku bercerita mereka pun juga sudah menebak apa yang terjadi padaku. Sangat pengertian, aku senang karena tidak harus bercerita banyak. Sebab, sejujurnya aku masih memiliki rasa sesak ketika mengingat perkataan itu.

            Diantarabanyaknyapesan yang masuk, salahsatunyamilikManusia. Mengomentaripostinganceritakubeberapa jam yang lalu. Kuputuskan untuk membalas pesannyayang terindikasi memastikanku baik-baik saja tersebutdalambentukpertanyaan lain.Gengsiamat,batinku. Aku juga mengomentari postingan story-nya. Kurasakan canggung ketika membaca isi pesan kami. Tapi aku merasa bahwa ini wajar.

Beberapa hari kemudian dia bercerita bahwa dia tahu aku menghilang karenanya. Aku hanya tertawa karena dia memang teramat peka. Namun, sejujurnya itu juga mengesalkan, sehingga lagi-lagi aku ingin bergelut dengannya. Dia sangat menyebalkan ketika bersikap bodo amat. Dia pernah mengatakan jika dirinya sebenarnya tahu apa yang aku inginkan, namun tidak semua dia bisa wujudkan. Tidak hanya padaku, tapi juga orang lain. Katanya ia tidak ingin menjadi seseorang yang sungkan untuk mengatakan ‘tidak’. Di sisi lain, momen pergelutan menjadi hal yang paling kusuka dan kurindukan darinya. Segala hal menyebalkan hingga aku ingin menjambak rambutnya membuatku merasa hangat ketika menjalani pertemanan kami.

            Suatuhari aku melihatnya merubah foto profil. Foto itu mengingatkanku dengan Humpty Dumpty Laras. Iseng kuunduh sebuah foto Humpty Dumpty dan memajangnya di snapgram dengan captionDia Laras. Aku tak menduga bahwa dia akan mengomentari hal tersebut.

            “Nyindir ppku kah?” tanyanya sedikit tersinggung.

            Aku tertawa membaca komentar tersebut. Pura-pura tidak tahu apa yang telah terjadi. Benar, aku menyindirnya. Dia teramat peka dengan situasi, dan aku suka ketika dia menyuarakan hal tersebut. Aku tahu bahwa dia hanya satu orang dan tidak dapat disamakan, sayangnya terkadang aku ingin menyebutnya Yanu dan terkadang juga Laras. Di sisi lain, antara Yanu dan Laras, posisiku hanyalah seekor ngengat yang terpesona pada cahaya. Manusia adalah cahaya lampu yang selalu memikat ngengat untuk terbang mendekat.

            Aku tidak pernah tahu apa yang akan terjadi ke depannya dan bagaimana kelanjutan perasaanku padanya. Aku hanya berharap dia selalu berada pada posisi menyebalkannya untuk tetap menjalani pertemanan dengan bumbu pergelutanku. Itu salah satu hal yang kusyukuri dan akan selalu begitu tanpa merubah situasi apapun. Terakhir, aku ingin memiliki lebih banyak momen untuk kusimpan dan kuabadikan dalam cokelat-cokelatku yang lain.

 

 

Ivanda Mifa

Sastra Indonesia 2021

IG: @ivandamf

Lebih baru Lebih lama