Panggung Spektakuler Untuk Wanita yang Berdiri di Pedestrian
Wanita itu ditunggu seorang juri. Beritanya, pemenang sudah
diputuskan. Akan ada penobatan tak ada duanya, yakni menjadi Hawa paling cantik
sedunia
Kini wanita itu didekap menit-menit teramat gelisah di
pedestrian, yang riuh redam. Seseorang yang menunggunya itu telah menjanjikan
panggung spektakuler, di hadapan seribu satu penonton, yang sedia empat ribu
satu tepuk di telapak tangan mereka, hanya teruntuk si wanita tercantik sejagat
raya
Di sebalik tengkorak sang wanita, seseorang itu menunggunya
dengan luar biasa tak sabar seraya melulu mengagumi paras dan perangai sang
wanita, yang kini masih mematung cemas di pedestrian. Di hadapan hidungnya;
mobil-mobil menahannya tanpa ampun; sepeda-sepeda motor memblokade tanpa
simpati; lampu sudut jalan malas beralih hijau
Mungkin sudah seperempat dekade juri itu menunggu, hingga
betapa segan si wanita membuatnya menanti lebih panjang. Dia pun sayang bila
kehilangan panggung wanita tercantik sejagat raya
Berjarak satu mobil dari genggam tanganku—sejauh
itu—sosoknya serasa berdiri di depan bibirku, menyeretku pada jebakannya: pada
sebuah kerudung toska; pada mata lonjong, yang turut toska; pada hidung paruh
beo; pada kulit warna matahari pukul satu siang; pada kaki jenjang; pada
keistimewaan; pada kesempurnaan. Sial, aku jadi buru-buru seperti juri
Oleh: Hilmi Lukman Baskoro
Mahasiswa Sastra Indonesia 2020
IG: @hilmilukmanbaskoro