Botol-botol Bekas yang Pak Haryadi Cari-cari


Botol-botol Bekas yang Pak Haryadi Cari-cari

Aku tak bisa memejamkan mata. Seakan ada sosok Pak Haryadi yang terus membayangi untuk kemudian membacokku dengan sebilah arit kecil bergagang panjang yang sering ia gunakan untuk memilah botol-botol bekas, kertas-kertas, dan kardus-kardus di beberapa tempat sampah sekitar pondok.

Jarum jam yang sering mati itu merangkak ke angka terbesar di lingkaran jam. Tinggal tujuh menit lagi untuk sampai. Teman-teman lain sudah pada tak peduli ke sarung yang berfungsi sebagai selimut mereka. Masing-masing ada yang kelelahan sebab menghadiri rapat, diskusi-diskusi, yang lain baru pulang dari dhalem Pak Kiai mengkaji kitab Fathul Mu’in. Sebagian lagi terlelap dengan buku yang masih terbuka dan pulpen yang belum sempat menutup sebuah larik puisi sebab keburu lelap saat sedang mencari metafor dan menunggu intuisi lewat. 

Setiap kali aku mencoba memejamkan kelopak mata setiap itu pula sekelebat bayang arit kecil bergagang panjang ingin menebas ke arah leherku. Aku berkali-kali menghalangi leher dengan siku. Barangkali dengan demikian, bila firasat itu benar-benar terjadi aku masih beruntung hanya terluka di bagian lengan, dan mencoba pejam untuk kali kesekian.

Dalam merem detak jarum jam membawaku ke suasana mencekam seperti di depan regu tembak. Seolah dalam detak jam ketiga beberapa peluru akan menembus tubuhku, seakan-akan sabit kecil bergagang panjang akan merobek lambungku. Terus saja terbayang bagaimana perih perutnya karena sepanjang hari ia belum menyetor rongsokan ke pengepul di selatan.

 Sudah lewat tengah malam. Kupaksakan membaca ayat kursi, dua ayat terakhir surat al-Baqarah, al-Ikhlas, dan al-Mu’awwizatain serta doa sebelum tidur. Setelahnya aku matikan lampu kamar yang redup, sangat terasa betapa susahnya menghiraukan wajahnya.

***

Aku dapat secarik undangan dari pengurus kebersihan pesantren untuk mewakili kamarku menghadiri rapat dengan tajuk Sosialisasi Kebersihan. Jam setengah delapan malam waktu jam belajar setelah salat jemaah aku hadir di halaman masjid. Di bawah lampu bohlam teman-teman lain duduk membentuk lingkaran beralas sandal masing-masing.

Pak Madruki, pengurus kebersihan pesantren memimpin jalannya rapat. Sejam setengah ia bicara panjang lebar tentang terobosan yang ia canangkan. Ia akhirnya disambut tepuk tangan hadirin. Sungguh ini adalah terobosan yang sangat pas dan sesuai kebutuhan. Yang pertama, seluruh santri akan disediakan satu ember untuk dijadikan tempat sampah di depan setiap kamar. Seluruh santri hanya cukup membayar uang tiga puluh ribu rupiah. Kedua, plus akan disediakan satu buah plastik besar untuk memilah botol plastik bekas dan semacamnya yang bernilai jual bila terdapat di tempat sampah. Pak Madruki juga memberi tahu jenis sampah apa saja yang bisa dijual ke pengepul di selatan. Ini yang menurutku cukup revolusioner. Seluruh santri dididik bukan hanya meruwat ekologi, tapi juga memanfaatkan peluang berwirausaha dalam kondisi apapun. 

Setiap minggu botol-botol bekas yang sudah dikumpulkan akan ditimbang ke Bank Sampah di gazebo, dan tiga bulan sekali uang akan dicairkan. Siapa yang tidak senyum seraya mengangguk-angguk setuju dengan ide cemerlang ini?

Ide ini memupuk dan menegaskan sekali kesadaran akan akhlak kepada lingkungan. Bagaimana para santri bisa survive dalam kepungan plastik-plastik yang meringkus dedaun pohon-pohon di sekitar. Dawuh Pak Kiai: sampah yang berserakan kebanyakan bukan jatuh dari dahan, melainkan dari tangan.

Setelah cemilan dibagikan, Pak Madruki kemudian menutup rapat dengan memohon sinergi yang kuat bisa tercipta mulai malam ini. Sekali lagi tepuk tangan memungkasi pesan penutupnya. Tak lama ia mempersilahkan hadirin untuk bubar. Selawat ia gemakan. Aku tak beranjak karena kesemutan setelah dari tadi duduk bersila. Namun ada si Qiqin yang menyadari bahwa kakiku sedang kesemutan. Ia menarik kaki kananku, menyeret sambil menepuk-nepuk. Aku teriak-teriak. Teman-teman lain lepas menertawaiku. Ini mungkin balasan atas kerja usilku kepadanya di masjid setelah subuh sebulan lalu ketika ia tidur duduk-tertunduk dan aku mendorong dadanya ke belakang hingga ia rubuh, sedang aku lari terbirit-birit seraya tertawa.

Di kamar, aku langsung memaklumatkan dengan dada ringkih yang kupaksakan membusung kepada teman-teman pesan apa yang baru saja kudapat dari pengurus kebersihan. Sebagaimana saat rapat, teman-teman kamar setuju belaka akan terobosan yang dibuat. Karenanya mereka tak sungkan ketika kupinta sumbangan lima ribu rupiah per orang untuk membeli sebuah ember sesuai kesepakatan. Kuprovokasi mereka bahwa kita akan menyelamatkan lingkungan sembari berwirausaha.  

***

Jam istirahat madrasah aku pulang ke pondok. Di gazebo ada Pak Abdossamad, pengurus kebersihan yang lain, tengah membagi-bagikan ember yang sudah diberi nama sesuai kamar dan sebuah plastik besar. Aku semangat sekali bisa menukarnya dengan uang hasil sumbangan teman-teman kamar yang telah terkumpul tadi malam. Pak Abdossamad memperingatiku sesuatu sebelum aku beranjak pergi, “dengar, ember itu jangan dibuat untuk nyuci!” aku tersenyum dan mengangguk-membungkuk.

Benar juga antisipasinya, di kamarku memang tidak mempunyai sebuah ember pun untuk nyuci. Saat kutimang-timang, embernya memang terlalu bagus seperti tidak cocok sekali dijadikan tempat sampah, ember ini lebih pantas dibuat nyuci di sumur. Tapi aku terpaksa menaruhnya di depan kamar.

Baru lepas jamaah zuhur saja sampah di ember baru depan kamar sudah hampir penuh. Di plastik besar sudah sedikit banyak terisi botol-botol minuman dan sebuah kardus yang dilipat. Aku tersenyum melihatnya, dalam hati aku bangga atas pencapaian ini oleh semangat berapi-api teman-temanku dalam upaya menyelamatkan lingkungan.

Kubuka kopyah dan baju gamisku. Duduk santai di bilik menikmati sebuah kitab Nashaihul ‘Ibad karya ulama Banten, Syeikh Nawawi Umar. Jam dua siang, aku istikamah tidur siang pada jam segitu, semacam qoilulah, tapi towilah.

Suara bilah bambu yang dipukul-pukulkan ke lantai oleh pengurus sontak membangunkanku. Dua menit lagi waktunya azan ashar berkumandang. Aku menjamah gayung hendak berwudu di belakang. Dengan rambut urakan aku melangkah ke luar bilik. Namun sebelum itu aku memungut sebotol minuman bekas di ember baru lalu mengumpulkannya di plastik besar pojok kamar.

Ketika langkah kakiku sampai di ambang pintu yang sedikit tertutup, di luar ada Pak Haryadi—salah satu pemulung tua yang ringkih dan kerdil yang sangat kukenal karena setiap hari berkeliaran di sekitar pondok—melongo ke ember baru itu, mencari-cari sampah yang bernilai jual dengan sebilah arit kecil bergagang panjangnya. Aku terdiam di depan jendela kaca melihat di luar, Pak Haryadi yang berlalu dari ember baru tanpa memperoleh secercah rezeki. Sementara, karung goni besar yang digendong di punggungnya masih kempes. Alisku menyatu, biasanya ia sudah berjalan ke selatan untuk menjual rongsokan yang sudah berhasil ia kumpulkan rata-rata pada jam dua belas siang. 

Mataku berpaling ke plastik besar di pojok kamar. Menatapnya nanar. Seharusnya aku tidak berbangga diri memungut sesuatu milik Pak Haryadi barusan.

Azan ashar bergema. Aku berjalan lesu ke tempat wudu. Tak ada gairah untuk berbangga diri karena menjadi salah satu hadirin di rapat tadi malam. Bisa-bisanya aku lupa bahwa setiap hari aku bisa melihat tujuh orang pemulung termasuk Pak Haryadi yang melongo di setiap kanal dan tempat sampah sekitar pondok sejak sebelum subuh.


12-02-2021

Terinspirasi dari kisah nyata, suatu hari itu.


*Haikal F. 

210110201061

@haikkkkk_



Cerpen Oleh Haikal Faqih Mahasiswa Sastra Indonesia Angkatan 2021


Lebih baru Lebih lama