7 Tahun Mencari Data, Mas Kostrad Usai Juga

 


7 Tahun Mencari Data, Mas Kostrad Usai Juga

Malam minggu tanggal 22 bulan Juni, IMASIND mendapatkan undangan untuk melihat pagelaran karya yang diselenggarakan oleh teman-teman PSTF angkatan 16. Aku telah menunggu momen ini. Dalam penggarapan karya ini salah satu inisiatornya merupakan Mas Kostrad, mantan ketua umum SWAPENKA—bisa dibilang kami dekat. Pagelaran karya merupakan salah satu syarat untuk mengampu skripsi bagi mereka yang hendak lulus, pagelaran karya ini memuat sebuah tugas akhir yang berwujud film.

Sejak awal tahun, aku selalu bilang ke Mas Kostrad ketika ia sibuk-sibuknya wara-wiri Jember-Lumajang, “Pokoknya aku nunggu pagelaran karyamu.” Mas Kostrad selalu mencak-mencak ketika aku berkata seperti itu—dan ia mengungkapkan curahan hatinya ketika aku berkata demikian “Kamu sangat memberiku beban, Rin. Jangan nungguin filmku, orangtuaku aja enggak nungguin, masa kamu yang nungguin.”

Entahlah, aku belum menontonnya, sebab aku baru sampai dan baru saja mengisi daftar hadir. Kondisi pada saat itu lumayan ramai namun sedikit lengang. Banyak orang lalu-lalang menggunakan pakaian dengan dominasi warna hitam namun dibalut dengan sarung yang bertengger di punggung seperti pakaian sehari-hari yang dikenakan warga Ranupani setempat ketika beraktivitas, kita sebut saja mereka adalah panitia. Beberapa pengunjung yang telah hadir memilih untuk duduk santai di depan ruang dekanat di lobby sasing, begitu pula denganku. Aku agak sedikit mengintip ke dalam aula sebelum duduk dan merokok, belum ada yang duduk di hadapan layar tancap—mungkin beberapa panitia yang sedang bersiap-siap.

Pukul 19.34 film baru saja diputar, molor satu jam lebih empat menit dari pamflet yang telah tersebar. Kondisi di dalam aula sangat ramai namun tidak begitu penuh. Pengunjung amat menantikan penayangan film dokumenter ini, aku kira. Beberapa orang penting juga turut hadir, seperti tokoh yang hadir dari pihak DLH (Dinas Lingkungan Hidup), tokoh perempuan yang saya lupa namanya—mewakili Bapak Bupati yang berhalangan hadir, tokoh dari pihak BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah),  Wakil Dekan II, dan beberapa dosen sebagai penguji skripsi dari ketiga pengkarya. Beberapa orangtua dari para pengkarya juga tidak ingin absen melihat mahakarya sebagai tugas akhir anak-anak mereka.

Footage yang ditampilkan adalah panorama indah yang berhasil diabadikan oleh teman-teman pengkarya—lebih tepatnya oleh Mas Habib selaku DOP (Director of Photography). Gunung Semeru megah berdiri gagah di atas tanah, di kakinya terdapat Desa Ranupani dan Desa Ngadas. Dari penjelasan yang disampaikan oleh si narator, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru mencakup Kabupaten Malang, Lumajang, Pasuruan, dan Probolinggo. Desa Ranupani terdapat di Kabupaten Lumajang yang masuk dalam cakupan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.

Mas Kostrad selaku sutradara mengangkat sebuah tema tentang konservasi lingkungan yang terjadi di Lumajang, tepatnya Desa Ranupani. Film dokumenter ini berjudul Selubung Kabut Ranupani. Sebab Mas Kostrad mengangkat Desa Ranupani sebagai objek kajian dalam penggarapan tugas akhirnya adalah Desa Ranupani sebagai salah satu desa yang mempunyai potensi tinggi untuk dijadikan sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KPSN). Film dokemunter ini mengangkat isu konservasi lingkungan yang terjadi di Desa Ranupani. Di balik keindahan yang dapat memanjakan mata, terdapat beberapa polemik yang harus dihadapi warga setempat.

Polemik yang terjadi adalah adanya ketidaksiapan sumber daya manusia Ranupani bila Desa Ranupani hendak dijadikan sebagai tempat pariwisata, ancaman bencana ekologis, serta lemahnya perhatian pemerintah terhadap mitigasi bencana yang akan terjadi di Desa Ranupani dan tidak adanya pendampingan atau semacam sosioalisasi dari pemerintah untuk mempersiapkan sumber daya manusia di Desa Ranupani.

Di dalam Desa Ranupani terdapat sebuah danau yang bernama Ranupani, air mengalir dari hulu dan berujung ke danau Ranupani sebagai hilir. Akan terjadi sedimentasi terhadap Danau Ranupani jika hulu tidak dibendung atau diperbaiki. Narasumber dari film dokumenter yang aku lupa namanya, menyampaikan “Ya percuma saja bila hilir sudah dibendung, pun telah dilakukan refitalisasi, bila hulu juga tidak diperbaiki akan percuma nantinya. Danau Ranupani akan habis dan mungkin akan rata.”

Isu tersebut yang lebih dicondongkan oleh Mas Habib, Mas Destian, dan khususnya Mas Kostrad selaku pengkarya dalam film dokumenternya. Mungkin, akhirnya timbul pertanyaan dari benak ketiga pengkarya tersebut, apa usaha pemerintah dalam melestarikan alam atau menjaga alam suatu tempat yang hendak dijadikan sebagai Kawasan Strategi Pariwisata Nasional?  Salah satu narasumber yang ada di film dokumenter dan lagi-lagi aku lupa namanya pun menyampaikan “Ya kalo Ranupani misalkan tidak siap atau dipaksa siap, ya tinggal menunggu kehancuran, kan begitu.”

Sangat disayangkan, sebab semua narasumber yang diambil oleh para pengkarya adalah lelaki. Tidak dihadirkan pendapat tentang konservasi lingkungan dari sudut pandang perempuan. Padahal beberapa footage yang dihadirkan tampak petani-petani perempuan yang dengan yakin mengayunkan pacul berharap tanah yang digalinya dapat mengenyangkan perut dan anak-anaknya. Seolah peran wanita dalam hal ini telihat minor dan terpinggirkan. Lantas, narasumber yang diambil bukanlah warga setempat yang terdampak langsung dari bencana ekologis dan memiliki pandangan kontra terkait visi pemerintah yang hendak menjadikan Desa Ranupani sebagai Kawasan Strategi Pariwisata Nasional. Alhasil perspektif yang disuguhkan kepada penonton mengenai polemik yang hadir di film dokumenter tersebut tidak begitu luas dan menyeluruh.

Di balik kelemahan dan kelebihan dari film dokumenter tersebut, kesimpulan yang aku dapat dari adanya film dokumenter yang mengangkat isu tentang konservasi lingkungan yang terjadi di negeri sendiri adalah miris. Sebabnya, kekayaan alam Indonesia kini bukan lagi digerus oleh pihak luar negara melainkan oleh dirinya sendiri. Alam yang seharusnya tidak melulu dijadikan sebagai objek namun juga harus dilihat sebagai subjek seperti digerus bahkan direnggut habis-habisan, kekayaannya dieksploitasi habis-habisan oleh mereka yang disebut penanggungjawab tetapi tidak bertanggungjawab.

Oleh Karina Putri Mahasiswa Sastra Indonesia 2020.





Lebih baru Lebih lama