Seharusnya Rengkuhanku Tak Membawamu Pergi



Seharusnya Rengkuhanku Tak Membawamu Pergi
Aku sebagai manusia yang banyak tingkah tak memiliki hak untuk marah kepada Ia yang membawamu pergi. Bodohnya aku yang tidak menyadari bahwa waktumu akan datang waktu itu. Aku lebih memilih bernaung dalam kesepian dipenuhi angan-angan akan skenario buruk yang padahal tak pernah kamu lakukan. Aku percaya akan ego, dinding tinggi yang seharusnya kuhancurkan demi kamu. Demi menggenggam tanganmu sekali lagi. Demi merasakan sentuhan yang membuatku hidup. Kata ‘hidup’. Kamu yang membawanya kepadaku. Menawarkan dengan tangan seputih susu lalu mampu melenyapkan tinta hitam berbau busuk yang telah lama sengaja kupelihara. Setelahnya aku hidup, demi kamu. 
Warna merah, abu-abu, hijau, kuning, dan segala warna kehidupan lain datang menyapa. Dulunya aku tak suka. Tapi sekarang kamu yang membawanya, maka akan kejam dan tolol apabila kutolak. Aku yang buta warna tapi malah kamu tawari semua itu. Semula dedaunan kering dan berwarna kuning pekat. Dengan kamu tiba-tiba ia berwarna hijau, bergairah. Mulanya dada ini akan sesak bersamaan dengan kaki yang berpijak di tanah. Dengan kamu serasa melayang dibawa angin sambil berpegangan tangan. Aku sangat ingat setiap kali senyum tak terpatri lewat bibirku, kamu akan mengatakan, “Mana canduku? Jangan dihilangkan ‘ya. Kamu lebih mempesona begitu.” Detik kemudian kupu-kupu terbang dalam tubuhku. Hanya kalimat sederhana yang diucapkan oleh sosokmu yang sampai saat ini tak kutemukan duanya. Kamu pasti akan salah tingkah jika aku mengatakan hal itu. Sialnya sekarang aku yang rindu rona merah di pipimu, Perempuanku. Aku ingin mengecupnya dengan lembut seperti waktu itu. Lalu kamu akan terbangun dan mencium ranum yang katamu berbahaya.
Aku kejam bukan? Kamu hidupku, tapi aku juga yang mematikanmu. Bagaimana bisa aku menolak percaya akan semua kalimat paling jujur yang kamu katakan? Padahal kamu mengatakannya sambil menangis. Kemana batinku saat itu? Apakah ini akibat dari aku yang terlalu menggilaimu? Jika iya berarti aku memang idiot. Berusaha merengkuhmu dalam tenang tapi malah mengikat dengan rantai hingga kamu tak berjalan bebas. Mungkin rantainya terlalu kuat dan membuat kamu ingin berlari.
Suatu hari ketakutanku menjadi nyata. Kamu hilang. Dari rengkuhanku. Dari genggaman yang mulanya membuat kamu menggila. Tentu aku berusaha mencari. Menjadi gembel berpakaian kumuh atau anjing kotor yang mencari tuannya. Tapi sangking bodohnya, malam itu aku masih tak mengerti alasan yang membuatmu pergi. Hingga pada suatu waktu aku berhasil temukan kamu. Teman dekat laki-laki yang dulu kujuluki sebagai ‘selingkuhan’mu itu membantuku. Menyeret aku dari mimpi dan membuangku secara kasar pada realita. Aku melihat kamu yang tetap cantik. Kamu dihiasi bunga putih. Sangking cantiknya aku tak bisa berkata-kata karena air mata luruh begitu deras dari manik favoritmu.
“Bahkan di detik terakhirnya ia menitipkan pesan rindu untukmu yang bodoh dan tidak tahu diri. Aku harap kamu berkabung dengan awan hitam yang tak akan mau meninggalkanmu.” Kalimat itu sangat menusuk, tapi aku mewajarkan. 
Sayang, ucapannya terkabul. Bertahun-tahun awan hitam ini tak mau berpisah bahkan saat malam. Ia berada di atas sana, ikut duduk  dan mengingatkan penyebab kepergianmu adalah aku. Tinta hitam itu kembali kurawat dengan apik. Apa kamu tak mau menawarkan warna lagi? Akan kuterima dengan tangan terbuka. Jika boleh jujur, hukuman darimu sangat menyiksa. Dadaku sesak kembali. Semua warna yang aku kenal tiba-tiba hilang hanya menyisakan abu-abu. Aku hanyalah mayat yang diberi nyawa. Kutampar mulut ini berkali-kali sambil mengucapkan kata ‘bodoh’ pada setiap tamparannya. Kamu yang memberiku hidup. Kamu yang menghidupkanku. Kamu segalanya. Kamu adalah nafas. Harus apa aku apabila perasaan rindu itu datang? Sungai mana yang harus aku terjuni? Lautan mana yang mau menenggelamkanku? Lalu aku ingat ia sempat melemparkan secarik kertas sebelum pergi meninggalkanku yang sedang memeluk tempat peristirahatan terakhirmu. Kubaca berkali-kali lalu kuciumi kertas itu.
“Aku paham dan tahu bahwa untuk menjalani hari esok kamu harus terseok-seok dan berakhir menghela nafas berat. Pada malam ini ketakutan itu duduk nyaman di sisi kosong tempat tidurku. Entah kapan waktunya, tapi pasti akan datang. Dan saat ini sepertinya aku yang akan menyapa maut dengan sukarela. Jika benar adanya, inginku sederhana. Jangan lunturkan canduku dari wajahmu. Bersamamu, aku ingin bahagia adalah satu-satunya kata yang kamu kenal. Tapi sepertinya kemarin-kemarin kamu salah menafsirkan kebahagiaan yang aku tawarkan. Setelah aku tiada, aku harap kamu tidak mengenal kata lain. Dengan hilangnya aku maka ikatan di sela-sela jarimu pun ikut kulepas. Kamu harus temukan orang baru. Orang yang mau menawarkan warna-warna lebih banyak untukmu. Kamu harus tahu, dari dimensi yang lain aku ingin melihat bahwa senyummu masih sama. Selamat tinggal, Sayang. Pelukku untuk kamu selalu.”
Bersamaan dengan air mata yang kembali luruh, kuterima bayang pelukmu dengan sukarela.


Oleh Wahyu Gaesesita

Mahasiswa Sastra Indonesia Angkatan 2020 Universitas Jember


Lebih baru Lebih lama