Jurnal Coklat

 


JURNAL COKLAT
Ivanda Miftahul Fadilah 

            Beberapa waktu lalu, salah seorang dosen memintaku membeli dupa. Aku mengiyakan permintaan tersebut, sambil jalan-jalan batinku. Segera ku nyalakan motor menuju Pasar Tanjung.  Dari arah jompo, aku belok kanan menuju area pasar burung. Memasuki jalan kecil dengan deretan kios dan toko-toko penjual segala keperluan piaraan burung, aku tersentak. “Ah, coklat” batinku berbicara.

Perasaanku sedikit tak karuan. Bukan perasaan khawatir akan sesuatu yang buruk, melainkan perasaan melankolis akan flashback di masa abu-abu. Dahulu aku sering melewati jalan ini, dari arah Trunojoyo memasuki area pasar burung lalu belok kanan. Bioskop Kusuma, begitu mamaku menyebut bangunan yang cukup tua itu. Sejak covid-19, tak ada aktivitas lagi di gedung itu. Begitu juga dengan kami.

Kami bukanlah salah satu dampak dari pandemi. Bahkan, situasi asing itu terjadi sejak menjelang akhir 2019. Entah memang sudah seharusnya terjadi, atau sebuah firasat berakhirnya masaku kala itu. Sebut saja takdir. Sebagai manusia, langkah kita selalu diikuti garis Tuhan. Kita harus terima, mungkin memang bukan yang terbaik. Tapi, sebagai manusia, aku juga memiliki pikiran buruk. Bukankah kami masih abu-abu? Setidaknya begitu pikirku sebelum aku yakin kami benar-benar berakhir.

Terkadang sikapku sedikit random. Seringkali aku memikirkan sesuatu kemudian langsung pergi ke tempat itu. Contohnya ke toko buku atau blok M, atau tiba-tiba saja berada di Masjid Cheng Ho pukul lima pagi. Semua semata-mata karena aku merindukan suasana semasa aku bersama lelaki yang kini gondrong itu. Bagiku, ini sebuah peningkatan. Dahulu aku lebih sering merindukan lelaki itu, tapi kini aku lebih merindukan suasananya saja. Artinya, aku sudah menerima bahwa dia sudah tidak di sampingku lagi.

Berkat kerandomanku tersebut, pasti ada yang selalu ku bawa pulang. Mulai dari buku, foto atau suasana hati yang semakin merindu. Itu masih positif, negatifnya adalah uangku selalu habis. Tentu saja karena membeli buku atau kehabisan bensin. Otak dan hati terkadang seringkali tidak sinkron. Nyatanya, ketika aku bilang bahwa aku sudah melupakannya, masih ada setitik dalam hatiku yang berharap akan bertemu dengan dia di toko buku ataupun gedung bioskop. Benar, ketika kau mengharap sesuatu, kau tidak akan selalu mendapatkannya. Begitu juga sebaliknya.

Aku pernah tidak sengaja bertemu dengannya. Sayang, keadaanku sedikit kucel dengan celana kulot, jaket kebesaran dan kerudung rumahan. Ditambah aku tidak merias diriku saat itu. Aku langsung berlari menuju motor, menyalakannya dan melajukan motor ke arah gang rumahku. Itulah salah satu alasan ketika keluar rumah aku harus sedikit merias diri, takut tidak sengaja bertemu seseorang yang ku kenal.

Ketika pertama kali diterima di jurusanku saat ini, tentu saja hal pertama yang kulakukan adalah mengucap syukur. Sungguh beruntung karena aku masih bisa kuliah lagi setelah melepaskan SBM pertamaku di tahun 2020. Mama kemudian bertanya,

“Gapapa? Nanti kamu dikira ngejar Alza”

“Gapapa. Toh aku masuk tujuannya buat kuliah, bukan buat ngejar dia” jawabku.

Jawaban itu tak sepenuhnya salah, tidak juga benar. Tujuanku adalah untuk kuliah, bukan untuk mengejar dia. Jika aku bertemu dengannya di kampus, anggap saja itu bonus. Mungkin itu juga bagian dari takdir Tuhan. Tetapi, takdir Tuhan sepertinya berkata lain. Satu semester ku lewati di sana tapi belum juga kulihat batang hidungnya. Ya, aku sedikit mencari. Memastikan bahwa dia sangat bahagia mendapatkan prodi impiannya. “Mungkin karena online” batinku. Tapi jika kupikir kembali, apakah prodi mereka mengenal kata online? Sedangkan praktik mereka mengharuskan berada di lapangan bersama teman-temannya membentuk tim produksi.

Salah seorang teman prodinya pernah mengirimkan pesan di instagram. Kebetulan dia temanku saat sekolah dasar. Isinya adalah menanyakan keberadaannya. “Gatau. Aku sudah lama gaada hubungan sama dia” ketikku membalas. Dari berbalas pesan dan iseng menanyakan ke teman-temanku lainnya yang satu prodi dengannya, aku mengetahui bahwa selain menghilang dariku, dia juga menghilang dari kehidupan sosialnya. Kawan prodinya kesulitan untuk menghubunginya. Ditambah dia tidak pernah datang ke kampus, sehingga banyak dari teman prodinya yang lain yang tidak mengenal atau mengetahui wajahnya.

Bulan Januari, dia membalas pesanku di instagram. Satu pengakuan yang aku terima, dia merasa tidak baik-baik saja dengan kuliahnya. Setelah itu, dia tidak membalas pesanku lagi hingga berbulan-bulan. Di semester baru, iseng-iseng ku buka web Dikti, mencari namaku, nama dosenku dan namanya. Sedikit terkejut aku membacanya, statusnya saat ini adalah mengundurkan diri. Ya, dia resign, dia sungguh tidak baik-baik saja. Aku tidak habis pikir, dulu dia sangat mendambakan prodinya. Ketika mendapatkannya, dia memilih untuk berhenti berjuang meraih mimpinya. Ah, sudahlah. Lagi-lagi aku tertampar, aku sudah tidak mengetahui seluk-beluk kehidupannya. Mungkin ada problem yang ia hadapi, atau memilih untuk pindah ke kampus lain, aku tidak tahu.

Kembali lagi, mungkin ini juga bagian dari takdir Tuhan. Aku selalu percaya bahwa aku sudah bisa melupakannya, tapi setitik kecil di alam bawah sadarku selalu ada namanya. Dia menghilang meninggalkan segala pertanyaan yang masih abu-abu. Tentang hubungan kami yang tiba-tiba kandas tanpa alasan yang jelas. Tentang dia yang mengatakan akan menjelaskan alasannya ketika nanti waktunya. Kupikir mungkin kami bisa menyelesaikan urusan yang belum usai di kuliah ini. Jujur saja aku tak masalah jika kami benar-benar berakhir. Toh, selama tiga tahun aku sudah terbiasa sendiri.

Salah seorang kawanku pernah berkata bahwa aku mungkin tidak siap jika melihatnya lagi. Untuk itu Tuhan menjauhkan kami hingga waktunya tiba, kami sama-sama dewasa untuk bertemu dan menyelesaikan urusan kami. Ucapan kawanku tidak sepenuhnya salah. Aku memang tidak yakin akan siap bertemu dengannya lagi. Dengan segala alasan logis, aku yakin hubungan kami memang benar-benar berakhir.

Setelah semua yang kulalui, aku menyadari bahwa aku tidak akan pernah bisa melupakan dia. Tidak perlu dipaksa karena yang seharusnya terjadi adalah aku menerima kenyataan bahwa kami memang benar-benar berakhir. Aku masih sering melakukan hal-hal random seperti tiba-tiba datang ke suatu tempat. Entah untuk sekedar jalan-jalan, duduk diam atau memotret lingkungan di sekitar. Semua karena aku merindukan suasana yang pernah kumiliki. Vibes coklat yang selalu tersimpan di memori otakku.

Memasuki kawasan Pasar Tanjung, aku memarkirkan motorku. Menaiki bangunan pasar menuju lantai dua. Melewati beberapa kios hingga sampai di area tengah bangunan, kios penjual dupa dengan segala kembang dan kendi di sekelilingnya. Setelah selesai melakukan adegan tawar menawar, penjual itu membungkus barang-barang yang kubeli dan memberikannya kepadaku. Tak lupa kuucapkan terima kasih kemudian berjalan menuruni tangga. Di parkiran, sebuah motor dengan satu penumpang di belakang pengemudi menarik perhatianku. Seseorang yang juga pernah menemaniku sebelum Alza. Aku tersenyum, dia juga.

“Nda!”

“Mas Daniel” balasku sambil tersenyum

Hanya sekedar berapapasan. Kemudian, motor kami saling melaju ke arah tujuan masing-masing.

 

Oleh Ivanda Miftahul Fadilah
Mahasiswa Sastra Indonesia 2021 Universitas Jember
IG          : @ivandamf


Lebih baru Lebih lama