Elegi Sepi dalam Lega Sapi


ELEGI SEPI DALAM LEGA SAPI

Ahh, panas terik matahari ini masih saja menghantui pori-pori kulitku yang dihuni oleh para kutu yang kerjaannya hijrah melulu, padahal tebal kulitku saja serupa potongan kayu, tetapi panas kali ini benar benar memaksa keringat di tubuhku bercucuran deras. Entah tenaga apa yang masih tesisa di tubuhku selama ini, yang jelas aku lupa berapa lama sudah  tak merasakan lezatnya air yang jika diminum dapat menghilangkan dahaga yang mengendap di dinding-dinding leherku. Entah  berapa kilo lagi perjalanan yang harus kami tempuh, mata kami pucat pasi semuanya yang kami lihat di depan hanyalah semu semata, serba teknologi tak kutemui satupun yang asri, gedung-gedung tingkat tinggi, cafe-cafe dengan spot imajinasi yang fantastis dan hampir semua jalanan seperti ini, hingga membuat kami tidak tahu untuk berjalan saja harus melewati arah mana lagi, lama rasanya kami tidak menikmati  ritual meminum air di pagi hari, atau bahkan sarapan pagi bersama sembari menikmati sejuknya udara pagi atau  kicauan burung burung kecil  yang beranjak pergi dari sangkarnya.

“Tunggu, ah sudahlah kita istirahat sejenak di sini aku penat.”

“Iya betul tubuhku rasanya mau ambruk.”

“Jangan berhenti di sini bisa-bisa kita diusir masyarakat sekitar.”

Hampir semua teman-temanku mendengus kesal setelah aku lontarkan kata-kata itu barusan, ya aku paham mereka sangat lelah untuk saat ini, tetapi coba kita bayangkan saja, bagaimana respon para manusia jika terdapat makhluk seperti kita berada di tepian kota, dengan tempat-tempat super megah nan mewah yang dibangun di tepi jalanan ramai penuh dengan kendaraan berteknologi digital, seperti sepeda motor yang berjalan tanpa perlu dikendarai, mobil yang bisa dikendarai di udara, robot kotak minuman kaleng yang berkeliling jalan untuk menawarkan minuman, dan  kereta api dengan jalur rel  dua puluh kaki dari lapisan bumi. 

Layar-layar hologram terus memancarkan lapisan cahayanya, sesekali menampilkan iklan layanan masyarakat, spot wisata setempat, atau artis-artis yang berdandan cantik untuk menarik perhatian publik, hampir saja kami menabrak layar transparan itu dan anehnya ketika kami menyentuhnya tak ada kontraksi sama sekali antara benda tersebut dengan kulit kami seolah olah hanya angin kosong yang lewat sejenak dihadapan kami, kok bisa begini? Ahh sudahlah hal itu tidak penting juga untuk dipikirkan dan sekarang hal yang paling diutamakan ialah kami langsung melanjutkan perjalanan, karena tujuan utama kami belum terpenuhi seutuhnya, yakni mencari genangan air dan rerumputan yang segar untuk kami santap, kami khawatir jika keadaan  terus-menerus seperti ini bisa saja beberapa dari kami  mati kelaparan, lalu dunia bisa menobatkan kami sebagai hewan yang telah punah setelah semua ikan-ikan besar di lautan habis populasinya, jumlah kami kurang lebih sebanyak tiga puluh ekor di negeri tercinta ini, lima belas ekor telah dipindahkan di sebuah kebun binatang utama dekat dengan alun-alun kota, sepuluh lainnya mereka berjalan menuju arah timur, dan sisanya ya adalah kami yang berjalan tak tentu arah untuk mencari sebuah asupan, sebenarnya kami merasa malu jika terus menerus berjalan di pinggir kota, mungkin jika banyak orang yang sadar kami berada di sini bisa-bisa kami menjadi bulan bulanan mereka untuk dipotret lalu diberitakan di berbagai media massa, tapi untungnya mereka adalah manusia manusia yang super sibuk, semuanya dikejar waktu, hingga untuk memperhatikan suasana sekitar saja menurutnya itu hal yang membuang buang waktu.

“Aku menyerahh!, baik sekarang kita hanya bisa menunggu kematian yang telah dicatat di buku sang kuasa.”

Salah seorang rekanku yang berkulit cokelat mengumpat kesal.

“Tidak mari kita lanjutkan perjalanan ini”

Aku menimpalinya dengan sabar

“Kau mau mencari apa? Rumput, tidak ada ladang rumput yang tersisa di dunia ini, kenapa kau tidak sadar sadar heyy! Kita di sini hanya menunggu kematian, lahan kosong mana sekarang yang tidak dimanfaatkan oleh para manusia, untuk apa lagi kalau bukan untuk uang?”

Kata-kata si kulit cokelat ada benarnya juga, aku terdiam sembari terus mendengar perkataan sicokelat yang hendak mengutarakan isi hatinya lagi

“Apakah mereka tidak memikirkan sedikitpun tentang siklus ekosistem mahluk selain dari mereka? berapa hari kita telah melanjutkan perjalanan tapi hasilnya sia-sia bukan, tidak ada rumput yang tumbuh lagi disini, tidak ada asupan bagi kita”

“Lantas apa yang harus kita lakukan sekarang?”

Aku mendengus pasrah.

“Ya aku ikut ikut saja.”

Si kulit hitam menimpali

“Woyyy ada hewan berkeliaran di kota.”

Suara itu terdengar dari arah atas, rupanya itu adalah mobil polisi keamanan kota, ah sial! kita benar benar menjadi buronan sekarang.

“Turun, dan tangkap mereka”

Sirine mobil itu dibunyikan keras dan lantang hingga memecahkan kesibukan yang berlalu lalang di kota

“Lariii”

 Tak ada pilihan lagi selain kami berlari sekeras mungkin, dengan sisa sisa tenaga yang mungkin sudah akan habis, beberapa orang media massa mendekat ke arah kami, sembari menggunakan kendaraan yang mereka tunggangi, berusaha mengambil foto atau video yang jelas tentang kami, kami menghiraukannya, yang terbesit diotak kami sekarang adalah lari lari dan lari!

“Aaaaahhgg, bukk”

Ah sialan si hitam ambruk, rupanya ia tak memiliki sisa-sisa tenaga di tubuhnya, semua media massa berbondong-bondong menemuinya bagaimana ini, si hitam memberi isyarat untuk meninggalkannya, matanya tertutup rapat ia tewas hari ini dan kami masih akan terus melanjutkan aksi pelarian ini.

 

 

Oleh Alya Latiofatul Fitriyah

Mahasiswa Sastra Indonesia Angkatan 2022 Universitas Jember

IG @ulfi_Iya

 

                        


 

Lebih baru Lebih lama