Ragam Puisi Seminggu Sekarya

 

Mencacau

 

Tak kunjung usai

Waktu berlalu dan sebagian melintas

Tepat di sore hari dengan kopi

Kita berbincang puisi, filsafat, dan mitos di samping teras

 

Dengan hangat

Sembari menguping percakapan

Dalam sekejap obrolan di pelosok Jawa berkata anak perempuan

Mengarah memang!

 

Manusia bernama aku yang seringkali dibuat ragu

Sedikit menepis perbincangan itu

Mungkinkah puisi, filsafat  dan sindiran berbalut patriarki masih bukan kapasitasnya?

Ya, semua mata tertuju, di sudut depan terhembus bisikan "selamat berjuang, suksesmu akan datang"






Hitam di Kasur Merah

 

Mereka menyebut diriku kupu malam yang indah.

Pemuas dikala birahi yang menggejolak itu datang menghampiri tubuhnya.

Bayang bayang tawa dan senyumnya menghantui tidurku, membuatku merasa menjadi manusia yang sangat hina.

Lantas siapa yang bisa menjamin indahnya langit ketika keluar dari goa yang sangat gelap ini.

 

Tak ada yang berani menaruh pedang ditangan untuk menolongku berperang dengan kehidupan.

Sakit memang menjadi terhina dan bernoda, tapi apa aku bisa keluar dengan bahagia.

Tidurku selalu harus kubagi dengan laki-laki yang tak kukenal bahkan baru bertemu dua menit lalu

Namun kini aku harus menjadi kupu yang indah diatas kasur merah. 

 

Seperti air dan minyak yang susah menyatu

Tapi aku harus melawan itu untuk bertahan dalam hidupku

Pagi aku menjadi mentari bagi masa depanku

Namun malam aku menjadi noda hitam untuk indahnya rembulan yang akan datang

 

Aku sudah berusaha keluar dari lobang yang terkutuk ini

Namun aku hidup di kota metropolitan yang penuh dengan kegemerlapan duniawi

Sungguh sia-sia melewatkan tawaran tertinggi

Karena tak ada jaminan aku hidup indah dimasa sekarang

Maka aku harus menjamin hidupku indah di masa mendatang.

 

Aku terus menyalahkan keadaan dan tuhan

slogan cobaan adalah tanda kasih sayang tuhan terus bertolakbelakang dengan pikiran

Apa maksud tuhan menjerumuskan hambanya melakukan apa yang Ia larang?

Lantas mana kasih sayang tuhan yang dijanjikan setelah sebuah penderitaan?

 

Tuhan aku ingin pulang

Aku ingin tidak terlahir jika garis ceritaku tak selaras dengan apa yang aku mau

Aku tau memang semuanya Engkau yang mengatur

Namun mengapa skenarioku Kau buat rancuh?

Apakah tidak sebaiknya Engkau ambil saja nyawaku?

 




Helai

 

Uraian rambut

Indah bagai menari bak nyiur di pantai

Terombang-ambing seperti halnya lautan

 

Kemolekanmu membawa tawa

Oh kasih idaman

Gelak tawamu meruntuhkan beban

Tak terkira bagaikan narkoba yang ketergantungan

 

Tawa manismu muncul saat helai rambutmu beralur

Pipi merah bak persik matang

Tawamu membawa tawa yang lain

Membuat hati bergejolak tak henti

 

Awal yang menggebu tapi diakhir rancu

Rancu akan kepastian

Deskripsi yang tak sesuai dengan fakta

Terhalang  ego tinggi setinggi gunung himalaya






“Garis Waktu”

 

Arah hembusan nafas

Membuatnya melihat dunia

Sejenak lelah dilepas

Setelah lama dikandungnya

Manusia berdatangan

Menyambut kelahiran

Membawa buah tangan

Mengharap keridhaan

Riuh renyah suara saudara

Canda tawa menemani suka

Tiada lara dalam ceria

Kini belia menjadi muda

Membuatnya beranjak dewasa

Setelah dewasa kian meraja

Masa muda tak lagi ada

Kini yang ada hanyalah roda

Kehidupan tidak selamanya

Setelah semua usai

Hasil akan  dituai

Ketika pintu kerajaan tertutup

Usailah segala permohonan

Yang terdengar hanya sayup

Tak dapat menjadi angan

Suka yang dulu mengembara

Masihkah ada jikalau masa tutup usia

 




Budaya

 

Menangkai kebusukan makam pahlawan.

 

Satu per satu kuziarahi makam makam yang tak bernisan.

Pada malam yang kesekian, belum juga dapat kutemukan.

 

Menangis diantara jasad para pelacur yang berserakan.

Selalu saja kutemukan bangkai busuk gadis perawan.

 

Sudah terlalu lama ku tinggalkan

Tak sadarkah engkau telah bercampur

Dengan segala kemunafikan malam.

 

Tubuhmu suci, pintu hatimu tertutup.

Dadamu penuh sesak riya’k

Semoga kau digolokan pada gologan orang orang yang mempertahankan tanah jajahan.

 


Lebih baru Lebih lama