Bisnis Peduli HAM



Bisnis Peduli HAM
Oleh : Lailis Saidatul Faizah
Aku tanpamu butiran debu
Saat mendengar lagu dari Rumor yang berjudul Butiran debu, tiba-tiba pikiran saya melayang pada makna dari “butiran debu”. Butiran debu yang ada dalam pikiran saya yakni terombang-ambing dan keterasingan. Keterasingan atau marginalisasi ini berkaitan dengan seberapa jauh kita mengikuti zaman. Zaman modernisme yang bercabang pada kapitalis membuat segi kehidupan kita pun tak bisa luput dari kapitalisme. Semua yang kita makan, kita akai, dan kita gunakan merupakan produk-produk kapitalis. Kata “mu” dalam lirik itu bermakna produk kapitalis. Dimana seberapapun kita menolak kapitalisme, kita akan tetap membutuhkannya.
Di era yang serba teknologi seperti saat ini, mobilitas manusia semakin tak terkendali. Prinsip pencarian untung sebesar mungkin juga mulai merajalela. Kakuatan modal menjadi dasar yang begitu mereka dambakan. Tutup mata dan telinga dari kondisi sekitarnya.
Jiwa ketidakpuasan individu yang dirawat kuat-kuat, menjadikan manusia terus berkutat pada pemerolehan laba besar, tak peduli legal atau ilegal, tak peduli ada yang menangis ataupun tertawa. Semua demi memperkaya diri individu penguasa dan pemilik modal.
Ya. Memang tak bisa dipungkiri. Kita telah dan sedang hidup di zaman persaingan. Persaingan apapun termasuk dalam persaingan kelas. Baik dari kalangan pemerintah, priyayi, bahkan rakyat kecil sekalipun tak lepas dari hal itu. Namun, apakah susah menjalankan usaha dengan tidak melupakan hak orang lain?
Seperti kita ketahui bahwa batasan hak asasi kita yakni hak asasi orang lain. Kita bebas melakukan apapun yang kita mau asal tidak mengganggu hak orang lain. Termasuk dalam menjalankan sebuah bisnis, kita pun harus melihat lingkungan sekitar.
Saya ambil contoh dari kalangan pemerintah. Ada daerah di sekitar kampus saya yang sedang mengalami gejolak. Tepatnya daerah Tegal Gede. Sebuah kompleks persawahan dengan jenis sawah superior. Hasil pertanian yang dihasilkan begitu baik dan melimpah. Namun ironis, tanah subur persawahan kini terpaksa harus menghilang menjadi sebuah kompleks perumahan. Perumahan itu berawal dari program pemerintah Jokowi yang merealisasikan sejuta rumah yang tersebar di seluruh pelosok negeri. Semua sawah dan tanah kosong yang akan digunakan untuk pembangunan perumahan akan dibeli oleh pemerintah.
Tak ada satu pun warga yang berniat menjual tanahnya hingga ada satu sawah yang rela dibeli. Kemudian berangsur-angsur warga mulai menjualnya, walau dengan harga yang relatif rendah dari harga sawah pada umumnya.
Ada beberapa warga yang masih mempertahankan sawahnya. Bukan tanpa alasan, sawah itu merupakan sawah satu-satunya tempat mereka mencari kehidupan. Tutup telinga lagi-lagi dilakukan. Sanitasi dengan pendirian rumah layak huni menjadi modus dalam mengelabuhi pikiran rakyat kecil. Minoritas menjadi bulan-bulanan. Bahkan intimidasipun tak luput dilakukan. Intimidasi dari pihak pemerintah dalam kasus ini berupa penutupan saluran air pada sawah yang mengakibatkan beberapa sawah yang belum terjual mengalami kekeringan. Mereka mesti harus mengairi sawahnya menggunakan mesin. Bahkan tak jarang dari mereka juga mengalami kerugian dari hasil panen yang didapat tidak seimbang. Beberapa protes sudah banyak mereka lakukan, hingga mereka pasrah.
Itu dari kalangan pemerintah. Ambil contoh lagi dari kalangan swasta yang sampai saat ini kasusnya masih belum ditemukan titik temu yakni lumpur Lapindo di Sidoarjo Jawa Timur.
Usaha untuk memperkaya diri sendiri justru menjadi bencana bagi orang-orang di sekitarnya. Hak hidup mereka terancam. Masa depan mereka pun musnah.
Lalu, kembali lagi saya tanyakan. Adakah bisnis yang tidak melanggar hak asasi orang lain?
Saya jawab, ada.
Pertama, pilihlah bisnis yang sesuai dengan kemampuan anda.
Amati keadaan sekitar, apakah usaha anda tidak membuat kehidupan mereka terganggu.
Dan yang terakhir, lakukan bisnis sesuai prosedur keamanan kerja.
Lebih baru Lebih lama